Mbak Memaksa Aku Untuk Bersetubuh
- Saya seorang pria berumur 40 tahun. Istri saya satu tahun lebih muda
dari saya. Secara keseluruhan kami keluarga bahagia dengan dua anak yang
manis-manis. Yang sulung, perempuan kelas II SMP (Nisa) dan bungsu
laki-laki kelas 3 SD. Saya bekerja di sebuah perusahaan telekomunikasi.
Sedangkan istri saya seorang wanita karier yang sukses di bidang
farmasi. Kini dia menjabat sebagai Distric Manager. Kami saling
mencintai. Dia merupakan seorang istri yang setia. Saya sendiri pada
dasarnya suami yang setia pula.
Paling tidak saya
setia terhadap perasaan cinta saya kepada istri saya. Tapi tidak untuk
soal seks. Saya seorang peselingkuh. Ini semua karena saya memiliki
libido yang amat tinggi sementara istri saya tidak cukup punya minat di
bidang seks. Saya menginginkan hubungan paling tidak dua kali dalam
seminggu. Tetapi istri saya menganggap sekali dalam seminggu sudah
berlebihan. Dia pernah bilang kepada saya, "Lebih enak hubungan sekali
dalam sebulan." Tiap kali hubungan kami mencapai orgasme bersama-sama.
Jadi sebenarnya tidak ada masalah dengan saya.
Rendahnya
minat istri saya itu dikarenakan dia terlalu terkuras tenaga dan
pikirannya untuk urusan kantor. Dia berangkat ke kantor pukul 07.30 dan
pulang lepas Maghrib. Sampai di rumah sudah lesu dan sekitar pukul 20.00
dia sudah terlelap, meninggalkan saya kekeringan. Kalau sudah begitu
biasanya saya melakukan onani. Tentu tanpa sepengetahuan dia, karena
malu kalau ketahuan.
Selama perkawinan kami sudah tak
terhitung berapa kali saya berselingkuh. Kalau istri saya tahu, saya tak
bisa membayangkan akan seperti apa neraka yang diciptakannya. Bukan
apa-apa. Perempuan-perempuan yang saya tiduri adalah mereka yang sangat
dekat dengan dia. Saya menyimpan rapat rahasia itu. Sampai kini. Itu
karena saya melakukan persetubuhan hanya sekali terhadap seorang
perempuan yang sama. Saya tak mau mengulanginya. Saya khawatir,
pengulangan bakal melibatkan perasaan. Padahal yang saya inginkan cuma
persetubuhan fisik. Bukan hati dan perasaan. Saya berusaha mengindarinya
sebisa mungkin, dan memberi kesan kepada si perempuan bahwa semua yang
terjadi adalah kekeliruan. Memang ada beberapa perempuan sebagai
perkecualian yang nanti akan saya ceritakan.
Perempuan
pertama yang saya tiduri semenjak menikah tidak lain adalah kakak istri
saya. Oh ya, istri saya merupakan anak ketiga dari lima bersaudara.
Semuanya perempuan. Istri saya sebut saja bernama Yeni. Kedua kakak Yeni
sudah menikah dan punya anak. Mereka keluarga bahagia semuanya, dan
telah memiliki tempat tinggal masing-masing. Hanya saya dan istri yang
ikut mertua dua tahun pertama perkawinan kami. Setiap minggu keluarga
besar istri saya berkumpul. Mereka keluarga yang hangat dan saling
menyayangi.
Mbak Maya, kakak istri saya ini adalah
seorang perempuan yang dominan. Dia terlihat sangat menguasai suaminya.
Saya sering melihat Mbak Maya menghardik suaminya yang berpenampilan
culun. Suami Mbak Maya sering berkeluh-kesah dengan saya tentang sikap
istrinya. Tetapi kepada orang lain Mbak Maya sangat ramah, termasuk
kepada saya. Dia bahkan sangat baik. Mbak Maya sering datang bersama
kedua anaknya berkunjung ke rumah orang tuanya -yang artinya rumah
saya juga- tanpa suaminya. Kadang-kadang sebagai basa-basi saya
bertanya, "Kenapa Mas Wid tidak diajak?" "Ahh malas saya ngajak dia,"
jawabnya. Saya tak pernah bertanya lebih jauh.
Seringkali
saat Mbak Maya datang dan menginap, pas istri saya sedang tugas luar
kota. Istri saya dua minggu sekali keluar kota saat itu. Dia adalah
seorang detailer yang gigih dan ambisius. Jika sudah demikian biasanya
ibu mertua saya yang menyiapkan kopi buat saya, atau makan pagi dan
makan malam. Tapi jika pas ada Mbak Maya, ya si Mbak inilah yang
menggantikan tugas ibu mertua. Tak jarang Mbak Maya menemani saya makan.
Karena
seringnya bertemu, maka saya pun mulai dirasuki pikiran kotor. Saya
sering membayangkan bisa tidur dengan Mbak Maya. Tapi mustahil. Mbak
Maya tidak menunjukkan tipe perempuan yang gampang diajak tidur.
Karenanya saya hanya bisa membayangkannya. Apalagi kalau pas hasrat
menggejolak sementara istri saya up country. Aduhh, tersiksa sekali
rasanya. Dan sore itu, sehabis mandi keramas saya mengeringkan rambut
dengan kipas angin di dalam kamar. Saya hanya bercelana dalam ketika
Mbak Maya mendadak membuka pintu.
"Kopinya Dik Andy."
Saya terkejut, dan Mbak Maya buru-buru menutup pintu ketika melihat
sebelah tangan saya berada di dalam celana dalam, sementara satu tangan
lain mengibas-ibas rambut di depan kipas angin. Saya malu awalnya.
Tetapi kemudian berpikir, apa yang terjadi seandainya Mbak Maya melihat
saya bugil ketika penis saya sedang tegang?
Pikiran itu
terus mengusik saya. Peristiwa membuka pintu kamar dengan mendadak
bukan hal yang tidak mungkin. Adik-adik dan kakak-kakak istri saya
memang terbiasa begitu. Mereka sepertinya tidak menganggap masalah.
Seolah kamar kami adalah kamar mereka juga. Adik istri saya yang bungsu
(masih kelas II SMU, sebut saja Rosi) bahkan pernah menyerobot masuk
begitu saja ketika saya sedang bergumul dengan istri saya. Untung saat
itu kami tidak sedang bugil. Tapi dia sendiri yang malu, dan
berhari-hari meledek kami.
Sejak peristiwa Mbak Maya
membuka pintu itu, saya jadi sering memasang diri, tiduran di dalam
kamar dengan hanya bercelana dalam sambil coli (onani). Saya hanya ingin
menjaga supaya penis saya tegang, dan berharap saat itu Mbak Maya
masuk. Saya rebahan sambil membaca majalah. Sialnya, yang saya incar
tidak pernah datang. Sekali waktu malah si Rosi yang masuk buat meminjam
lipstik istri saya. Ini memang sudah biasa. Buru-buru saya tutupkan CD
saya. Tapi rupanya mata Rosi keburu melihat.
"Woww,
indahnya." Dia tampak cengengesan sambil memolesi bibirnya dengan gincu.
"Mau kemana?" tanya saya. "Nggak. Pengin makai lipstik aja." Saya
meneruskan membaca. "Coli ya Mas?" katanya. Gadis ini memang manja, dan
sangat terbuka dengan saya. Ketika saya masih berpacaran dengan istri
saya, kemanjaannya bahkan luar biasa. Tak jarang kalau saya datang dia
menggelendot di punggung saya. Tentu saya tak punya pikiran apa-apa. Dia
kan masih kecil waktu itu. Tapi sekarang. Ahh. Tiba-tiba saya
memperhatikannya. Dia sudah dewasa. Sudah seksi. Teteknya 34. Pinggang
ramping, kulit bersih. Dia yang paling cantik di antara saudara istri
saya.
Pikiran saya mulai kotor. Menurut saya, akan
lebih mudah sebenarnya menjebak Rosi daripada Mbak Maya. Rosi lebih
terbuka, lebih manja. Kalau cuma mencium pipi dan mengecup bibir
sedikit, bukan hal yang sulit. Dulu saya sering mengecup pipinya. Tapi
sejak dia kelihatan sudah dewasa, saya tak lagi melakukannya. Akhirnya
sasaran jebakan saya beralih ke Rosi. Saya mencoba melupakan Mbak Maya.
Sore
selepas mandi saya rebahan di tempat tidur, dan kembali memasang
jebakan untuk Rosi. Saya berbulat hati untuk memancing dia. Ini hari
terakhir istri saya up country. Artinya besok di kamar ini sudah ada
istri saya. Saya elus perlahan-lahan penis saya hingga berdiri tegak.
Saya tidak membaca majalah. Saya seolah sedang onani. Saya pejamkan mata
saya. Beberapa menit kemudian saya dengar pintu kamar berderit lembut.
Ada yang membuka. Saya diam saja seolah sedang keasyikan onani. Tidak
ada tanggapan. Saya melihat pintu dengan sudut mata yang terpicing.
Sialan. Tak ada orang sama sekali. Mungkin si Rosi langsung kabur. Saya
hampir saja menghentikan onani saya ketika dari mata yang hampir
tertutup saya lihat bayangan. Segera saya mengelus-elus penis saya
dengan agak cepat dan badan bergerak-gerak kecil. Saya mencoba
mengerling di antara picingan mata. Astaga! Kepala Mbak Maya di ambang
pintu. Tapi kemudian bayangan itu lenyap. Lalu muncul lagi, hilang lagi,
Kini tahulah saya, Mbak Maya sembunyi-sembunyi melihat saya. Beberapa
saat kemudian pintu ditutup, dan tak dibuka kembali sampai saya
menghentikan onani saya. Tanpa mani keluar.
Malamnya,
di meja makan kami makan bersama-sama. Saya, kedua mertua, Mbak Maya,
Rosi dan kakak Rosi, Mayang. Berkali-kali saya merasakan Mbak Maya
memperhatikan saya. Saya berdebar-debar membayangkan apa yang ada di
pikiran Mbak Maya. Saya sengaja memperlambat makan saya. Dan ternyata
Mbak Maya pun demikian. Sehingga sampai semua beranjak dari meja makan,
tinggal kami berdua. Selesai makan kami tidak segera berlalu.
Piring-piring kotor dan makanan telah dibereskan Mak Jah, pembantu kami.
"Dik
Andy kesepian ya? Suka begitu kalau kesepian?" Mbak Maya mebuka suara.
Saya kaget. Dia duduk persis di kanan saya. Dia memandangi saya. Matanya
seakan jatuh kasihan kepada saya. Sialan. "Maksud Mbak May apaan sih?"
saya pura-pura tidak tahu. "Tadi Mbak May lihat Dik Andy ngapain di
kamar. Sampai Dik Andy nggak liat. Kalau sedang gitu, kunci pintunya.
Kalau Rosi atau Ibu lihat gimana?" "Apaan sih?" saya tetap pura-pura
tidak mengerti. "Tadi onani kan?" "Ohh." Saya berpura-pura malu.
Perasaan saya senang bercampur gugup, menunggu reaksi Mbak Maya. Saya
menghela nafas panjang. Sengaja. "Yahh, Yeni sudah tiga hari keluar
kota. Pikiran saya sedang kotor. Jadi.." "Besok lagi kalau Yeni mau
keluar kota, kamu minta jatah dulu." "Ahh Mbak May ini. Susah Mbak
nunggu moodnya si Yeni. Kadang pas saya lagi pengin dia sudah
kecapekan." "Tapi itu kan kewajiban dia melayani kamu?" "Saya tidak
ingin dia melakukan dengan terpaksa." Kami sama-sama diam. Saya terus
menunggu. Menunggu. Jantung saya berdegup keras.
"Kamu
sering swalayan gitu?" "Yaa sering Mbak. Kalau pengin, terus Yeni nggak
mau, ya saya swalayan. Ahh udah aahh. Kok ngomongin gitu?" Saya
pura-pura ingin mengalihkan pembicaraan. Tapi Mbak Maya tidak peduli.
"Gini lho Dik. Masalahnya, itu tidak sehat untuk perkawinan kalian. Kamu
harus berbicara dengan Yeni. Masa sudah punya istri masih swalayan."
Mbak Maya memegang punggung tangan saya. "Maaf Mbak. Nafsu saya besar.
Sebaliknya dengan Yeni. Jadi kayaknya saya yang mesti mengikuti kondisi
dia." Kali ini saya bicara jujur. "Saya cukup puas bisa melayani diri
sendiri kok." "Kasihan kamu."
Mbak Maya menyentuh ujung
rambut saya, dan disibakkannya ke belakang. Saya memberanikan diri
menangkap tangan itu, dan menciumnya selintas. Mbak Maya seperti kaget,
dan buru-buru menariknya. "Kapan kalian terakhir kumpul?" "Dua atau tiga
minggu lalu," jawab saya. Bohong besar. Mbak Maya mendesis kaget. "Ya
ampuun." "Mbak. Tapi Mbak jangan bilang apa-apa ke Yeni. Nanti salah
pengertian. Dikira saya mengadu soal begituan." Mbak Maya kembali
menggenggam tangan saya. Erat, dan meremasnya. Isi celana saya mulai
bergerak-gerak. Kali ini saya yang menarik tangan saya dari genggaman
Mbak Maya. Tapi Mbak Maya menahannya. Saya menarik lagi. Bukan apa-apa.
Kali ini saya takut nanti dilihat orang lain. "Saya horny kalau Mbak
pegang terus." Mbak Maya tertawa kecil dan melepaskan tangan saya. Dia
beranjak sambil mengucek-ucek rambut saya. "Kaciaann ipar Mbak satu
ini." Mbak Maya berlalu, menuju ruang keluarga. "Liat TV aja yuk,"
ajaknya. Saya memaki dalam hati. Kurang ajar betul. Dibilang saya horny
malah cengengesan, bukannya bilang, "Saya juga nih, Dik." Setengah
jengkel saya mengikutinya. Di ruang keluarga semua kumpul kecuali Rosi.
Hanya sebentar. Saya masuk ke kamar.
Sekitar pukul
23.00 pintu kamar saya berderit. Saya menoleh. Mbak Maya. Dia
menempelkan telunjuknya di bibirnya. "Belum bobo?" tanyanya lirih.
Jantung saya berdenyut keras. "Belum." Jawab saya. "Kita ngobrol di luar
yuk?" "Di sini saja Mbak." Saya seperti mendapat inspirasi. "Ihh. Di
teras aja. Udah ngantuk belum?" Mbak Maya segera menghilang. Dengan
hanya bersarung telanjang dada dan CD saya mengikuti Mbak Maya ke teras.
Saya memang terbiasa tidur bertelanjang dada dan bersarung. Rumah telah
senyap. TV telah dimatikan. Keluarga ini memang terbiasa tidur sebelum
jam 22.00. Hanya aku yang betah melek.
Mbak Maya
mengenakan daster tanpa lengan. Ujung atas hanya berupa seutas tali
tipis. Daster kuning yang agak ketat. Saya kini memperhatikan betul
lekuk tubuh perempuan yang berjalan di depan saya itu. Pantat menonjol.
Singset. Kulitnya paling putih di antara semua sadaranya. Umurnya
berselisih tiga tahun dengan Yeni. Mbak Maya duduk di bangku teras yang
gelap. Bangku ini dulu sering saya gunakan bercumbu dengan Yeni. Wajah
Mbak Maya hanya terlihat samar-samar oleh cahaya lampu TL 10 watt milik
tetangga sebelah. Itupun terhalang oleh daun-daun angsana yang rimbun.
Dia
memberi tempat kepada saya. Kami duduk hampir berhimpitan. Saya memang
sengaja. Ketika dia mencoba menggeser sedikit menjauh, perlahan-lahan
saya mendekakan diri. "Dik Andy" Mbak Maya membuka percakapan. "Nasib
kamu itu sebenernya tak jauh beda dengan Mbak." Saya mengernyitkan dahi.
Menunggu Mbak Maya menjelaskan. Tapi perempuan itu diam saja. tangannya
memilin-milin ujung rambut. "Maksud Mbak apa sih?" "Tidak bahagia dalam
urusan tempat tidur. Ih. Gimana sih." Mbak Maya mencubit paha saya.
Saya mengaduh. Memang sakit, Tapi saya senang. Perlahan-lahan penis saya
bergerak. "Kok bisa?" "Nggak tahu tuh. Mas Wib itu loyo abis."
"Impoten?" Saya agak kaget. "Ya enggak sih. Tapi susah diajakin. Banyak
nolaknya. Malas saya. Perempuan kok dibegituin," "Hihihi.. Tadi kok
kasih nasihat ke saya?" Saya tersenyum kecil. Mbak Maya mencoba
mendaratkan lagi cubitannya. Tapi saya lebih sigap. Saya tangkap tangan
itu, dan saya amankan dalam genggaman. Saya mulai berani. Saya remas
tangan Mbak Maya. Penis saya terasa menegang. Badan mulai panas dingin.
Mungkinkan malam ini saya dan Mbak Maya..
"Terus cara
pelampiasan Mbak gimana? Swalayan juga?" Tanya saya. Saya taruh sebelah
tangan di atas pahanya. Mbak Maya mencoba menghindar, tapi tak jadi.
"Enggak dong. Malu. Risih. Ya ditahan aja." "Kapan terakhir Mbak Maya
tidur sama Mas Wib?" Saya mencium punggung tangan Mbak Maya. Lalu tangan
itu saya taruh perlahan-lahan di antara pahaku, sedikit menyentuh
penis. "Dua minggu lalu." "Heh?" Saya menatap matanya. Bener enggak sih.
Kok jawabannya sama dengan saya? Ngeledek apa gimana nih. "Bener."
Matanya mengerling ke bawah, melihat sesuatu di dekat tangannya yang
kugenggam. "Mbak.." Saya menyusun kekuatan untuk berbicara. Tenggorokan
terasa kering. Nafsu saya mulai naik. Perempuan ini bener-bener seperti
merpati. Jangan-jangan hanya jinak ketika didekati. Saat dipegang dia
kabur.
"Hm," Mbak Maya menatap mata saya. "Mbak
pengin?" Dia tak menjawab. Wajahnya tertunduk. Saya raih pundaknya. Saya
elus rambutnya. Saya sentuh pipinya. Dia diam saja. Sejurus kemudian
mulut kami berpagutan. Lama. Ciuman yang bergairah. Saya remas bagian
dadanya. Lalu tali sebelah dasternya saya tarik dan terlepas. Mbak Maya
merintih ketika jari saya menyentuh belahan dadanya. Secara spontan
tangan kirinya yang sejak tadi di pangkuan saya menggapai apa saja. Dan
yang tertangkap adalah penis. Dia meremasnya. Saya menggesek-gesekkan
jari saya di dadanya. Kami kembali berciuman. "Di kamar aja yuk Mbak?"
ajak saya. Lalu kami beranjak. Setengah berjingkat-jingkat menuju kamar
Mbak Maya. Kamar ini terletak bersebarangan dengan kamar saya. Di
sebelah kamar Mbak Maya adalah kamar mertua saya.
Malam
itu tumpahlah segalanya. Kami bermain dengan hebatnya. Berkali-kali.
Ini adalah perselingkuhan saya yang pertama sejak saya kawin. Belakangan
saya tahu, itu juga perselingkuhan pertama Mbak Maya. Sebelum itu tak
terbetik pikiran untuk selingkuh, apalagi tidur dengan laki-laki lain
selain Mas Wib.
Bermacam gaya kami lakukan. Termasuk
oral, dan sebuah sedotan kuat menjelang saya orgasme. Semprotan mani
menerjang tenggorokan Mbak Maya. Itulah pertama kali mani saya diminum
perempuan. Yeni pun tidak pernah. Tidak mau. Jijik katanya. Menjelang
pagi, saat tulang kami seperti dilolosi, saya kembali ke kamar. Tidur.
Saya
tidak berani mengulanginya lagi. Perasaan menyesal tumpah-ruah ketika
saya bertemu istri saya. Mungkin itu juga yang dirasakan Mbak Maya.
Selepas itu dia mencoba menghindari pembicaraan yang menjurus ke tempat
tidur. Kami bersikap biasa-biasa, seolah tidak pernah terjadi apa pun.
Ketika
tidur di samping istri saya, saya berjanji dalam hati Tidak akan
selingkuh lagi. Ternyata janji tinggal janji. Nafsu besar lebih mengusik
saya. Terutama saat istri saya ke luar kota dan keinginan bersetubuh
mendesak-desak dalam diri saya. Rasanya ingin mengulanginya dengan Mbak
Maya. Tapi tampaknya mustahil. Mbak Maya benar-benar tidak memberi
kesempatan kepada saya. Dia tidak lagi mau masuk kamar saya. Jika ada
perlu di menyuruh Rosi, atau berteriak di luar kamar, memanggil saya.
Bahkan mulai jarang menginap.
Akhirnya saya kembali ke
sasaran awal saya. Rosi. Mungkinkah saya menyetubuhi adik istri saya?
Uhh. Mustahil. Kalau hamil? Beda dengan Mbak Maya. Kepada dia saya tidak
ragu untuk mengeluarkan benih saya ke dalam rahimnya. Kalaupun hamil,
tak masalah kan. Paling-paling kalau anaknya lahir dan mirip dengan saya
yaa banyak cara untuk menepis tuduhan. Lagian masak sih pada curiga?
Kehidupan terus berjalan. Usia kandungan istri saya menginjak bulan
ke-4. Tahu sendirilah bagaimana kondisi perempuan kalau sedang hamil
muda. Bawaannya malas melulu. Tapi untuk urusan pekerjaan dia sangat
bersemangat. Dia memang pekerja yang ambisius. Berdedikasi, disiplin,
dan penuh tanggung jawab. Karena itu jadwal keluar kota tetap dijalani.
Kualitas hubungan seks kami makin buruk. Dia seakan benar-benar tak
ingin disentuh kecuali pada saat benar-benar sedang relaks. Saya juga
tak ingin memaksa. Karenanya saya makin sering beronani diam-diam di
kamar mandi. Kadang-kadang saya kasihan terhadap diri sendiri. Kata-kata
Mbak Maya sering terngiang-ngiang, terutama sesaat setelah sperma
memancar dari penis saya. "Kacian adik iparku ini.." Tapi saya tak punya
pilihan lain. Saya tak suka "jajan". Maaf, saya agak jijik dengan
perempuan lacur.
Tiap kali beronani, yang saya
bayangkan adalah wajah Mbak Maya atau si bungsu Rosi, bergantian. Rosi
telah tumbuh menjadi gadis yang benar-benar matang. Montok, lincah.
Cantik penuh gairah, dan terkesan genit. Meskipun masih bersikap manja
terhadap saya, tetapi sudah tidak pernah lagi bergayutan di tubuh saya
seperti semasa saya ngapelin kakaknya. Saya sering mencuri pandang ke
arah payudaranya. Ukurannya sangat saya idealkan. Sekitar 34. Punya
istri saya sendiri hanya 32.
Seringkali, di balik baju
seragam SMU-nya saya lihat gerakan indah payudara itu. Keinginan untuk
melihat payudara itu begitu kuatnya. Tapi bagaimana? Mengintip? Di mana?
Kamar mandi kami sangat rapat. Letak kamar saya dengannya berjauhan.
Dia menempati kamar di sebelah gudang. Yang paling ujung kamar Mak Jah,
pembantu kami. Setelah kamar Mayang, kakak Rosi, baru kamar saya. Kamar
kami seluruhnya terbuat dari tembok. Sehingga tak mugkin buat ngintip.
Tapi tunggu! Saya teringat gudang. Ya, kalau tidak salah antara gudang
dengan kamar Rosi terdapat sebuah jendela. Dulunya gudang ini memang
berupa tanah kosong semacam taman. Karena mertua butuh gudang tambahan,
maka dibangunlah gudang. Jendela kamar Rosi yang menghadap ke gudang
tidak dihilangkan. Saya pernah mengamati, dari jendela itu bisa
mengintip isi kamar Rosi.
Sejak itulah niat saya
kesampaian. Saya sangat sering diam-diam ke gudang begitu Rosi selesai
mandi. Memang ada celah kecil tapi tak cukup untuk mengintip. Karenanya
diam-diam lubang itu saya perbesar dengan obeng. Saya benar-benar takjub
melihat sepasang payudara montok dan indah milik Rosi. Meski sangat
jarang, saya juga pernah melihat kemaluan Rosi yang ditumbuhi bulu-bulu
lembut.
Tiap kali mengintip, selalu saya melakukan
onani sehingga di dekat lubang intipan itu terlihat bercak-bercak sperma
saya. Tentu hanya saya yang tahu kenapa dan apa bercak itu. Keinginan
untuk menikmati tubuh Rosi makin menggelayuti benak saya. Tetapi selalu
tak saya temukan jalan. Sampai akhirnya malam itu. Mertua saya meminta
saya mendampingi Rosi untuk menghadiri Ultah temannya di sebuah
diskotik. Ibu khawatir terjadi apa-apa. Dengan perasaan luar biasa
gembira saya antar Rosi. Istri saya menyuruh saya membawa mobil. Tapi
saya menolak. "Kamu kan harus detailing. Pakai saja. Masa orang hamil
mau naik motor?" Padahal yang sebenarnya, saya ingin merapat-rapatkan
tubuh dengan Rosi.
Kami berangkat sekitar pukul 19.00.
Dia membonceng. Kedua tangannya memeluk pinggang saya. Saya rasakan
benda kenyal di punggung saya. Jantung saya berdesir-desir. Sesekali
dengan nakal saya injak pedal rem dengan mendadak. Akibatnya terjadi
sentakan di punggung. Saya pura-pura tertawa ketika Rosi dengan manja
memukuli punggung saya. "Mas Andy genit," katanya. Pada suatu ketika,
mungkin karena kesal, Rosi bahkan tanpa saya duga sengaja menempelkan
dadanya ke puggung saya. Menekannya. "Kalau mau gini, bilang aja terus
terang," katanya. "Iya iya mau," sahut saya. Tidak ada tanggapan. Rosi
bahkan menggeser duduknya, merenggang. Sialan.
Malam
itu Rosi mengenakan rok span ketat dan atasan tank top, dibalut jaket
kulit. Benar-benar seksi ipar saya ini. Di diskotik telah menunggu
teman-teman Rosi. Ada sekitar 15-an orang. Saya membiarkan Rosi berabung
dengan teman-temannya. Saya memilih duduk di sudut. Malu dong kalau
nimbrung. Sudah tua, ihh. Saya hanya mengawasi dari kejauhan, menikmati
tubuh-tubuh indah para ABG. Tapi pandangan saya selalu berakhir ke tubuh
Rosi. She is the most beautiful girl. Di antara saudara istri saya Rosi
memang yang paling cantik. Tercantik kedua ya Mbak Maya, baru Yeni,
istri saya. Mayang yang terjelek. Tubuhnya kurus kering sehingga tidak
menimbulkan nafsu.
Sesekali Rosi menengok ke arah
tempat duduk saya sambil melambai. Saya tersenyum mengangguk. Mereka
turun ke arena. Sekitar tiga lagu Rosi menghampiri saya. "Mas Andy udah
pesan minum?" tanyanya. Dagu saya menunjuk gelas berisi lemon tea di
depan saya. Saya tak berani minum minuman beralkohol, meski hanya bir.
Saya pun bukan pecandu. "Kamu kok ke sini, udah sana gabung temen-temen
kamu," kata saya. Janjinya Rosi dkk pulang pukul 22.00. Tadi ibu mertua
juga bilang supaya pulangnya jangan larut. "Nggak enak liat Mas Andy
mencangkung sendirian," kata Rosi duduk di sebelah saya. "Sudah nggak
pa-pa." "Bener?" Saya mengangguk, dan Rosi kembali ke grupnya. Habis
satu lagu, dia mendatangi saya. Menarik tangan saya. Saya memberontak.
"Ayo. Nggak apa-apa, sekalian saya kenalin ama temen-temen. Mereka juga
yang minta kok." Saya menyerah. Saya ikut saja bergoyang-goyang. Asal
goyang. Dunia diskotik sudah sangat lama tidak saya kunjungi. Dulupun
saya jarang sekali. Hampir tidak pernah. Saya ke diskotik sekedar supaya
tahu saja kayak apa suasananya. Sesekali tangan Rosi memegang tangan
saya dan mengayun-ayunkannya. Musik bener-benr hingar-bingar. Lampu
berkelap-kelip, dan kaki-kaki menghentak di lantai disko. Sesekali Rosi
menuju meja untuk minum.
Menjelang pukul 22.00 sebagian
teman Rosi pulang. Saya segera mengajak Rosi pulang juga. "Bentar dong
Mas Andy, please," kata Rosi. Astaga. Tercium aroma alkohol dari
mulutnya. "Heh. Kamu minum apa? Gila kamu. Sudah ayo pulang." Segera
saya gelandang dia. "Yee Mas Andy gitu deh." Dia merajuk tapi saya tak
peduli. Ruangan ini mulai menjemukan saya. "Udah dulu ya bro, sis.
Satpam ngajakin pulang neh." "Satpam-mu itu." Saya menjitak lembut
kepala Rosi. Rosi memang minum alkohol. Tak tahu apa yang diminumnya
tadi. Dia pun terlihat sempoyongan. Saya jadi cemas. Takut nanti kena
marah mertua. Disuruh jagain kok tidak bisa. Tapi ada senangnya juga
sih. Rosi jadi lebih sering memeluk lengan saya supaya tidak sempoyongn.
Kami
menuju tempat parkir untuk mengambil motor. Saya bantu Rosi mengenakan
jaket yang kami tinggal di motor. Saya bantu dia mengancing
resluitingnya. Berdesir darah saya ketika sedikit tersentuk bukit di
dadanya. "Hayoo, nakal lagi," katanya. "Hus. Nggak sengaja juga."
"Sengaja nggak pa-pa kok Mas." Omongan Rosi makin ngaco. Dia tarik ke
bawah resluitingnya. Dan sebelum saya berkomentar dia sudah berkata,
"Masih gerah. Ntar kalau dingin Rosi kancingin deh." Segera mesin
kunyalakan, dan motor melaju meninggalkan diskotik SO.
Sungguh
menyenangkan. Rosi yang setengah mabuk ini seakan merebahkan badannya
di punggung saya. Kedua tangannya memeluk erat perut saya. Jangan tanya
bagaimana birahi saya. Penis saya menegang sejak tadi. Dagu Rosu
disadarkan ke pundak saya. Lembut nafasnya sesekali menyapu telinga
saya. Saya perlambat laju motor. Benar-benar saya ingin menikmati. Lalu
saya seperti merasa Rosi mencium pipi saya. Saya ingin memastikan dengan
menoleh. Ternyata memang dia baru saja mencium pipi saya. Bahkan
selanjutnya dia mengecup pipi saya. Saya kira dia benar-benar mabuk.
"Mas
Andy, Rosi pengin pacaran dulu," katanya mengejutkan saya. "Pacaran
sama Mas Andy? Gila kamu ya." Penis saya makin kencang. "Mau enggak?"
"Kamu mabuk ya?" Dia tak menjawab. Hanya pelukannya tambah erat. "Mas.."
"Hmm" "Mas masih suka coli?" "Hus. Napa sih?" "Pengen tahu aja. Mbak
Yeni nggak mau melayani ya?" "Tahu apa kamu ini." Saya sedikit
berteriak. Saya kaget sendiri. Entah kenapa saya tidak suka dia omong
begitu, Mungkin reflek saja karena saya dipermalukan. "Sorry. Gitu aja
marah." Rosi kembali mencium pipi saya. Bahkan dia tempelkan terus
bibirnya di pipi saya, sedikit di bawah telinga. "Saya horny Ros."
"Kapan? Sekarang? Ahh masak. Belum juga diapa-apain"
Saya
raih tangannya dan saya taruh di penis saya yang menyodok celana saya.
Terperanjat dia. Tapi diam saja. Tangannya merasakan sesuatu
bergerak-gerak di balik celana saya. "Pacaran ama Rosi mau nggak?" kata
Rosi. Aroma alkohol benar-benar menyengat. "Di mana? Lagian udah malam.
Nanti Ibu marah kalau kita pulang kemalaman." "Kalau ama Mas Andy
dijamin Ibu gak marah." "Sok tahu." "Bener. Ayuk deh. Ke taman aja. Tuh
deket SMA I ajak. Asyik lagi. Bentar aja." Tanpa menunggu perintah,
motor saya arahkan ke Taman KB di seberang SMU I. Taman ini memang arena
asyik bagi mereka yang seang berpacaran. Meski di sekitarnya lalu
lintas ramai, tapi karena gelap, yaa tetap enak buat berpacaran. Kami
mencari bangku kosong di taman. Sudah agak sepi jadi agak mudah
mencarinya. Biasanya cukup ramai sehingga banyak yang berpacaran di
rumputan. Begitu duduk. Langsung saja Rosi merebahkan kepalanya di dada
saya. Saya tak mengira anak ini akan begini agresif. Atau karena
pengaruh alkohol makin kuat? Entahlah. Kami melepas jaket dan menaruhnya
di dekat bangku.
"Kamu kan belum punya pacar, kok
sudah segini berani Ros?" tanya saya. "Enak aja belum punya pacar." Dia
protes. "Habis siapa pacar kamu?" Saya genggam tangannya. Dia
mengelus-elus dada saya. "Yaa ini." Dia membuka kancing kemeja saya.
Saya makin yakin dia diracuni alkohol. Tapi apa peduli saya. Inilah
saatnya. Saya kecup keningnya. Matanya. Hidung, pipi, lalu bibirnya. Dia
tersentak, dan memberikan pipinya. Saya kembali mencari bibirnya. Saya
kecup lagi perlahan. Dia diam. Saya kulum. Dia diam saja. Benarkah anak
ini belum pernah berciuman bibir dengan cowok? "Kamu belum pernah
melakukan ya?" kata saya. Dia tak menjawab. Saya cium lagi bibirnya.
Saya julurkan lidah saya. Tangannya meremas pinggang saya. Saya hisap
lidahnya, saya kulum. Tangan saya kini menjalar mencari payudara. Dia
menggelinjang tetapi membiarkan tangan saya menyusiup di antara celah
BH-nya. Ketika saya menemukan bukit kenyal dan meremasnya, dia mengerang
panjang. Kedua kakinya terjatuh dari bangku dan menendang-nendang
rumputan. Saya buka kancing BH-nya yang terletak di bagian depan. Saya
usap-usap lembut, ke kiri, lalu ke kanan. Saya remas, saya kili-kili.
Dia mengaduh. Tangannya terus meremasi pinggang dan paha saya.
"Mas
Andy.." "Hmm" "Please.. Please." Saya mengangsurkan muka saya menciumi
bukit-bukit itu. Dia makin tak terkendali. Lalu, srrt srrt..srrt.
Sesuatu keluar dari penis saya. Busyet. Masa saya ejakulasi? Tapi benar,
mani saya telah keluar. Anehnya saya masih bernafsu. Tidak seperti
ketika bersetubuh dengan Yeni. Begitu mani keluar, tubuh saya lemas, dan
nafsu hilang. Saya juga masih merasakan penis saya sanggup menerima
rangsangan. Saya masih menciumi payudara itu, menghisap puting, dan
tangan saya mengelus paha, menyelinap di antara celap CD. Membelai
bulu-bulu lembut. Menyibak, dan merasakan daging basah. Mulut Rosi terus
mengaduh-aduh. Saya rasakan kemaluan saya digeggamnya. Diremas dengan
kasar, sehingga terasa sakit. Saya perlu menggeser tempat duduk karena
sakitnya. Agaknya dia tahu, dan melonggarkan cengkeramannya.
Lalu
dia membuka resluiting celana saya, merogoh isinya. Meremas kuat-kuat.
Tapi dia berhenti sebentar. "Kok basah Mas?" tanyanya. Saya diam saja.
"Ehh,ini yang disebut mani ya?" Sejenak situasi kacau. Ini anak malah
ngajak diskusi sih. Dia cium penis saya tapi tidak sampai menempel.
Kayaknya dia mencoba membaui. "Kok gini baunya ya? Emang kayak gini ya?
"Heeh," jawab saya lalu kembali memainkan kelaminnya. "Asin juga ya?"
Dia mengocok penis saya dengan tangannya. "Pelan-pelan Ros. Enakan kamu
ciumin deh," kata saya.
Tanpa perintah lanjutan Rosi
mencium dan mengulum penis saya. Uhh, kasarnya minta ampun, Tidak ada
enaknya. Jauhh dengan yang dilakukan Mbak Maya. Berkali-kai saya meminta
dia untuk lebih pelan. Bahkan sesekali dia menggigit penis saya sampai
saya tersentak. Akhirnya saya kembali ejakulasi. Bukan oleh mulutnya
tapi karena kocokan tangannya. Setelah itu sunyi. Saya lemas. Saya
benahi pakaian saya. Dia juga membenahi pakaiannya. Tampaknya dia telah
terbebas dari pengaruh alkohol. Wajahnya yang belepotan mani dibersihkan
dengan tissu. "Makasih pelajarannya ya Mas." Dia mengecup pipi saya.
"Tapi kamu janji jaga rahasia kan?" Saya ingin memastikan. "Iyaah. Emang
mau cerita ama siapa? Bunuh diri?" "Siapa tahu. Pokoknya just for us!
Nobody else may knows." Dia mengangguk. Kami bersiap-siap pulang.
Sepanjang perjalanan dia memeluk erat tubuh saya. Menggelendot manja.
Dan pikiran waras saya mulai bekerja. Saya mulai dihinggapi kecemasan.
Baca Juga :
Cerita Panas di Sebuah Kamar Kost Revana